Menata Mekanisme Plt. dan Plh. : Menjaga Akuntabilitas, Mendorong Efisiensi

Dalam pengelolaan institusi pendidikan tinggi, keberlangsungan layanan harus tetap berjalan meskipun tanpa keberadaan pejabat definitif. Saat terjadi kekosongan atau pejabat berhalangan, penunjukan Pelaksana Tugas (Plt.) dan Pelaksana Harian (Plh.) menjadi langkah penting. Keduanya tidak sekedar mengisi posisi sementara, tetapi juga berperan memastikan operasional tetap berjalan, akuntabilitas terjaga, dan pelayanan kepada sivitas akademika tidak terhenti.

Namun, hasil audit internal di berbagai unit kerja Universitas Terbuka, baik di pusat maupun daerah, menunjukkan masih terdapat sejumlah permasalahan dalam pelaksanaan penunjukan Plt. dan Plh. Permasalahan tersebut antara lain penunjukan yang belum sepenuhnya sesuai ketentuan, kekeliruan dalam membedakan peran Plt. dan Plh., serta adanya pejabat sementara yang mengambil keputusan di luar batas kewenangannya—terutama yang berkaitan dengan pengelolaan anggaran.

Peraturan Rektor Nomor 646 Tahun 2023 tentang Penunjukkan Pelaksana Tugas dan/atau Pelaksana Harian di Lingkungan Universitas Terbuka sebenarnya telah memberikan rambu yang cukup jelas. Plt. ditunjuk ketika jabatan kosong atau pejabat berhalangan tetap, sedangkan Plh. berlaku untuk kondisi berhalangan sementara, misalnya karena cuti. Keduanya berwenang menandatangani naskah dinas sesuai jabatan yang digantikan, namun tidak diperkenankan mengambil keputusan strategis yang berdampak pada status hukum, kepegawaian, atau anggaran. Ketentuan ini menjadi landasan penting dalam menjaga tertib administrasi.

Di lapangan, tantangan birokrasi menjadi nyata. Dengan jumlah unit kerja yang besar, baik di pusat maupun daerah, permintaan penunjukan Plt./Plh. bisa sangat tinggi. Jika seluruh proses harus melalui persetujuan langsung rektor, maka potensi penumpukan dokumen dan keterlambatan keputusan tidak dapat dihindari. Hal ini juga merupakan celah bagi praktik administratif yang tidak sesuai ketentuan.

Hasil audit juga menemukan adanya pelimpahan tugas kepada pejabat sementara tanpa dasar hukum yang kuat. Dalam beberapa kasus, sebagian tugas tetap dijalankan oleh pejabat definitif yang sedang cuti, sementara sebagian lainnya dilimpahkan kepada pengganti. Situasi seperti ini menimbulkan ambiguitas dalam pertanggungjawaban dan berisiko menghasilkan dokumen yang tidak sah secara hukum.

Kondisi tersebut mencerminkan adanya kesenjangan antara regulasi dan implementasi. Di satu sisi, aturan telah menegaskan prinsip-prinsip akuntabilitas dan pembagian kewenangan. Namun di sisi lain, sistem pelaksanaannya belum sepenuhnya mendukung penerapan yang tertib dan konsisten.

Lalu, apa langkah ke depan?

Pertama, birokrasi bisa disederhanakan dengan mendelegasikan kewenangan secara legal dan terukur. Rektor dapat memberi mandat terbatas kepada pejabat tertentu agar dapat menandatangani surat penunjukan Plt./Plh. di tingkat operasional.

Kedua, sosialisasi mengenai ketentuan Plt. dan Plh. harus dilakukan, agar setiap unit memahami garis batas kewenangan dan tidak terjadi kesalahan penerapan.

Ketiga, sistem keuangan dan penganggaran perlu diselaraskan dan diintegrasikan dengan administrasi kepegawaian. Dengan cara ini, aturan tentang pejabat pengelola keuangan dan kewenangannya akan sesuai dengan aturan penunjukan Plt. dan Plh. Integrasi sistem juga bisa membantu mendeteksi perubahan status pejabat secara otomatis dan menyesuaikan kewenangannya, sehingga tumpang tindih atau kekosongan hukum dalam pertanggungjawaban bisa dihindari.

Mekanisme Plt. dan Plh. sangat penting untuk menjaga kelangsungan organisasi. Namun, tanpa konsistensi, ketegasan, dan dukungan sistem yang baik, mekanisme ini justru dapat menimbulkan kebingungan. Kantor Pengawas Internal menilai sekarang adalah waktu yang tepat untuk memperkuat tata kelola, agar akuntabilitas terjaga dan efisiensi bisa terus dicapai.

 

Penulis            : Andhinur Anugriawan, CLA.

Penyunting      : Wahyu Tri Utomo, S.T.

Andhinur Anugriawan

Auditor pada Kantor Pengawas Internal